TUHAN TAHU, RAKYAT BINGUNG
Korupsi bukan lagi sekadar tindakan kriminal; ia adalah bentuk evolusi sosial. Jika manusia purba berevolusi dari mencari makan menjadi bertani, maka manusia modern berevolusi dari bekerja menjadi "mengatur proyek". Sebuah aktivitas dengan daya kreativitas luar biasa, di mana satu dokumen bisa ditandatangani oleh lima orang tapi hanya menguntungkan satu rekening.
Yang unik dari korupsi adalah kemampuannya beradaptasi. Ia tidak terikat ruang dan waktu. Di negara demokrasi, ia memakai jas. Di negara otoriter, ia pakai seragam. Di desa, ia berbentuk dana fiktif. Di kota, ia menyamar jadi proyek strategis nasional. Ia begitu cair—mungkin karena sering dicuci.
Koruptor pun berkembang seperti spesies tersendiri. Mereka memiliki insting yang sangat kuat terhadap aroma uang, meskipun masih dibungkus dalam amplop cokelat atau disamarkan dalam anggaran "pengadaan kursi rapat multifungsi". Mereka tahu kapan harus tersenyum di depan kamera, dan kapan harus pura-pura sakit saat dipanggil KPK. Bahkan sebagian dari mereka memiliki keahlian membuat kutipan bijak untuk ditulis di caption Instagram, yang ironisnya, sering mengandung kata "amanah".
Dalam observasi tidak resmi saya—yang dilakukan sambil ngeteh di pinggir kolam—terdapat tiga ciri utama koruptor modern:
1. Ramah kepada kamera, tetapi tidak kepada akuntan.
Mereka lebih nyaman diwawancarai daripada diaudit. Laporan pertanggungjawaban kegiatan seringkali lebih fiktif dari kisah cinta di FTV.
2. Religius saat ditangkap, agnostik saat menjabat.
Banyak dari mereka yang tiba-tiba rajin sholat, menyumbang masjid, bahkan hafal doa makan—setelah namanya muncul di berita. Tuhan memang Maha Pengampun, tapi Google tidak pernah lupa.
3. Pakar dalam hal “bersembunyi di balik sistem.”
Mereka jago menggunakan istilah seperti “penyesuaian anggaran”, “efisiensi biaya”, dan “bantuan langsung tidak langsung yang belum dicairkan karena dinamika administratif.” Semuanya terdengar penting, sampai rakyat sadar bahwa jalan ke sekolah tetap becek.
Lalu muncul pertanyaan ilmiah: Mengapa korupsi begitu awet? Apakah ia mengandung formalin moral? Ataukah sistem kita memang dirancang agar ia bisa berkembang biak tanpa kendala, seperti lumut di batu?
Sosiolog berkata, “Ini masalah budaya.”
Psikolog bilang, “Ini tentang moral individu.”
Politisi menimpali, “Ini fitnah dari oposisi.”
Sementara rakyat biasa? Kami hanya ingin tahu: ke mana perginya dana bansos yang katanya cair bulan lalu?
Korupsi, pada akhirnya, adalah bentuk seni. Ia dimainkan oleh tangan-tangan licin dengan skrip panjang dan judul besar: "Untuk Kepentingan Masyarakat." Padahal masyarakat tidak pernah diajak baca naskahnya. Mungkin sudah saatnya kita menyadari bahwa transparansi bukan hanya soal laporan digital—tetapi juga tentang menyamakan definisi "jujur" antara rakyat dan pejabat.
Karena selama definisi "amanah" masih bisa dinegosiasikan di ruang rapat ber-AC, dan "kesejahteraan" masih hanya berarti tunjangan pejabat, maka korupsi akan terus hidup. Ia tidak butuh tempat persembunyian. Ia hidup di antara kita, tersenyum di baliho, dan sesekali membagikan sembako.
Tertanda,
Rakyat yang masih bingung kenapa biaya pelatihan influencer bisa beli satu desa.
TUHAN TAHU, RAKYAT BINGUNG
Reviewed by nashihul
on
April 17, 2025
Rating: 5